Cerpen

PASUNG
by Mariana Ulfah

Aku tidak gila, tidak juga setengah gila, apalagi hampir gila seperti yang diteriakkan orang-orang kampung termasuk bapak, emak dan kakak lelakiku. Teriakanku seperti tercekat di tengah-tengah tenggorok. Merangsek ingin keluar.“Aku tidak gila! Aku bukan orang gila! Kalianlah yang gila!“.
Tangan-tangan itu tak peduli. Mata-mata itu tak ada yang peduli. Mata-mata itu menatapku tajam, jijik dan nanar. Menyeretku, membantingku ke dalam sudut gelap di bilik kecil di tengah-tengah rimbun pohon bambu seratus meter di belakang rumah bapak yang sudah dipersiapkan untukku. Bau tanah, bercampur lugut bambu yang beterbangan serta bau anyaman bambu memenuhi ruang gelap itu. Tak ada lampu, tak ada petromaks dan tak ada nyala lilin sekalipun. Hanya aku dan bau kecoak serta tikus-tikus yang mencericit.
Kakiku perih, sakit. Tapi tangan-tangan itu tak pernah ambil pusing. Mata-mata itu tak peduli dengan kepedihanku. Kakiku dipaksa masuk ke dalam bonggol kayu kamper dengan dua lubang berdiameter tak lebih dari lima belas senti. Menutup mata kakiku, melilitnya dengan rantai besi berkarat, berbunyi berderak-derak ketika dikuncikan.
Aku terpasung, dipasung, dikurung, dipenjara. Bukan cuma tubuhku, jiwaku juga ikut terpasung, hak-hakku sebagai seorang wanita ikut terpasung. Tak berdaya. Lemah. Dalam kegelapan dan kengerian yang menghantuiku sepanjang malam. Kecoak, cepet, kelabang, cacing dan tikus sudah mulai terbiasa dengan kehadiranku, bahkan mereka mulai menganggapku sahabat. Mana ada manusia seperti aku yang diperlakukan bagai binatang, bagai mereka. Aku manusia binatang. Binatang hina yang lebih hina dari anjing kudisan.
Lelaki itu tak lebih hina dari diriku. Lelaki yang membuatku terhina. Lelaki dengan peluh di tubuhnya. Melalui merah mata buasnya ia menelanjangiku, mencabik-cabik tubuhku, merobek keperawananku sampai berdarah-darah. Darah merah lebih merah dari matanya. Darah sakit hati dan dendam yang membuncah. Lelaki bangsat itu kakakku.
Sejak itu, lima tahun yang lalu, aku hanya hidup dalam diam, tidur dalam diam, makan dalam diam, dan bernapas dalam diam. Anganku menjadi seorang perempuan suci pada malam pertama pengantin hilang sudah, pupus, lebur bersama air mata kewanitaanku.
Aku tak mengenal bergantinya waktu. Berapa lama, berapa jam, berapa hari, berapa tahun. Yang kulihat adalah ketika pagi beranjak siang, siang berubah gelap, panas berganti hujan. Aku melihat waktu melalui celah kecil dalam bilikku. Celah yang tak layak disebut jendela. Celah yang tak berdaun dan tak berjeruji, menghembuskan bau pengap ke dunia luar sedikit demi sedikit.
Aku tak pernah kelaparan apalagi kehausan. Setiap kali cacing-cacing dalam perutku berteriak gaduh, menyeruduk selaput-selaput dinding perut, atau ketika kerongkonganku perih karena dahaga, aku tinggal menarik tambang yang tergantung di dekatku. Menggoyangnya dua kali, tiga kali atau empat kali. Klontang...klontang...klontang. Dan suara kaleng-kaleng bekas yang terikat di pangkalnya akan mengantar pesan “aku lapar“,“aku haus“,“aku berak“, atau“aku kencing“. Detik berikutnya datanglah Emak, adik perempuanku Surti, atau Bulikku Mar. Melongok dari pintu bambu yang reyot, memberiku makan, minum sampai membersihkan aku dari kotoran-kotoran najis yang melekat pada baju dalamku, sarungku.
Tak ada yang mau berbicara denganku. Itulah skenario yang sudah diatur bapak untuk mereka. Tak ada yang boleh berbicara denganku. Hukuman untukku yang tak pernah berakhir sejak mereka menjebloskanku ke dalam sudut terkutuk ini.
Cuma perempuan yang boleh menengokku. Itu pun perempuan yang sudah tidak perawan lagi, janda juga boleh. Tapi tidak untuk perempuan yang masih suci, masih perawan, belum terjamah. Buat perempuan calon manten , pantangan melintas dekat bilikku apalagi menjengukku. Nanti ketularan busuk, kena tulah, kualat, kata orang-orang. Aku perempuan terkutuk, perempuan pendosa, perempuan haram, kata mereka. Mereka semua penduduk kampung, termasuk bapakku.
Saat sepi menderaku. Aku berkhayal. Khayalanku terbang ke sebuah rumah kecil dalam negeri antah berantah, berhalaman rumput hijau yang luas. Aku dan emak duduk di bale-bale bambu menyambut mentari yang baru terbangun oleh kokok ayam jantan di kandang belakang rumah itu. Emak menyisir rambutku hati-hati. Rambut yang mengeluarkan aroma bunga, panjang berkilauan bak mutiara. Emak menyisir perlahan sambil mendendangkan tembang-tembang jawa kesukaan emak dan eyang putri.
Suara Emak sangat merdu. Semerdu kicau burung. Semerdu semilir angin yang menerobos batang-batang bambu, semerdu suara jangkrik di malam hari.
Aku ingin selalu ada di pelukan ibu dari pagi sampai matahari tertidur kembali. Aku ingin mendengar merdu suara emak yang menghantarkanku ke peraduan. Hangat. Damai.
Satu malam aku pun pernah bermimpi. Ada seorang peri seperti dalam dongeng Cinderella si upik abu, menyihir lilitan besi yang mengunciku, membebaskanku dan membawaku terbang ke khayangan. Tempat di mana para peri, bidadari, dewa dan dewi bercengkrama.
Khayalan cuma khayalan. Mimpi hanya mimpi. Yang memenuhi ruang gelap, dingin, berembun, lembab tempatku meringkuk kini.
Siang hari. Entah hari apa, jam berapa, bulan apa, tahun berapa. Suara berisik, berdengung. Laki-laki dan perempuan, berbicara sesekali berdebat dari balik bilik penjaraku. Suara Emak, Bapak, dan Surti. Serta dua suara yang tidak aku kenal. Satu laki-laki dan satu perempuan.
Tuhan sepertinya melihat penderitaanku. Pasti mereka datang untuk melepas pasungku. Pintu bambu reyot itu sedikit demi sedikit bergeser. Mereka semua kembali berbicara, mendengung bagai lebah yang memenuhi labirin sarangnya. Aku tidak mengerti yang mereka katakan. Apakah kini aku bukan lagi manusia yang berbicara bahasa manusia? Aku terlalu lama hidup dalam diam, dalam skenario yang dibuat bapak untukku, untuk orang-orang sekelilingku. Apakah mereka berbicara dengan bahasa binatang yang biasa aku dengar? Manusia berbicara binatang? Aku linglung.
Lamat-lamat aku berusaha mencerna kata-kata mereka. Laki-laki dan perempuan yang tidak aku kenal. Mereka berpakaian perlente sejenis seragam dengan logo dan tulisan yayasan anu.
“Mbak Lasmi tenang saja. Kami dari yayasan perlindungan hak-hak wanita akan membebaskan Mbak sesegera mungkin“. Mereka tersenyum. Hambar.
Mereka berpaling menatap Bapak dan Emakku. Kata-kata mereka kembali tak kumengerti. “Bapak dan Ibu seharusnya tahu kalau tindakan ini merupakan tindak kejahatan dan kekerasan“. Bapakku balas mencela dengan nada tinggi, ditimpali acungan telunjuk Emak ke wajah mereka.
Baru sekarang kudengar lagi suara Bapak dan Emak. Tapi bukan suara merdu yang melantunkan tembang-tembang jawa, melainkan suara makian kemarahan. “Jangan ikut campur!”.
Pintu bambu reyot itu kembali tertutup. Kemudian suara-suara mereka hilang bersamaan suara langkah kaki yang menjauh.
Aku kembali beringsut dalam diam, dalam keremangan senja yang mulai menggelapkan sudut ruang penjaraku. Ada perasaan aneh yang menjalar. Apakah ini yang disebut harapan? Harapan ingin bebas. Harapan ingin kembali menikmati indahnya duduk di meja makan bersama Bapak dan Emak, mandi di kali bersama teman-teman wanita di desaku , bersenda gurau.
Entah berapa gelap dan terang yang telah berganti sejak kedatangan orang-orang dari yayasan anu itu. Harapan itu kian memudar, bermuara hanya pada sekedar artikel kecil di surat kabar, selebaran, pamflet dan poster-poster bertajuk ’Stop Kekerasan terhadap Wanita’. Aku lelah. Aku hanya butuh tangan-tangan yang mau melepaskan belenggu kakiku. Dan membersihkan luka perih di pergelangan kakiku.
Aku berteriak, tapi tetap diam. Mungkin hanya diriku yang mampu memberi kebebasan, hanya tanganku yang mampu membawaku ke negeri kebebasan.
Dengan susah payah jemariku yang kurus meraih onggokan pecahan beling gelas bekas kulempar kemarin. Menariknya perlahan. Bayangan mata buas lelaki itu kembali hadir. Tubuhku menegang, merinding. Bayangan mata, bayangan darah menyesakkan syaraf-syaraf otakku. Pecahan beling itu telah menancap kaku di nadiku. Menggores dan mengucurkan kembali darahku. Darah yang menggenangi tubuh dan kakiku yang masih terpasung. Aku berputar dalam kubangan darah. Darah kebebasanku.

Jakarta, 2006

0 komentar:

Posting Komentar