Cerpen

SI BUYUNG
By: Mariana Ulfah



Ratno
Ratno berlari secepat mungkin menuju gubuk Mbah Mo, ia tak menghiraukan hujan deras yang mengguyur tubuh kerempengnya. Ia mungkin juga tak peduli jika kilat menyambar tanah tempat kaki kurusnya berlari. Yang ia pedulikan saat ini, malam ini, pukul 12 lewat, hanyalah Lastri istrinya.
Sambil berlari, berkelebat bayangan wajah kesakitan istrinya, yang sedang mengerang-erang kesakitan di bale bambu, di biliknya yang pengap. Mengejan menahan nafas karena ketuban di perutnya sudah pecah.
“Mas..tolong panggilkan Mbah Mo, mas. Si buyung sudah mau keluar. Cepat mas, sakit sekali rasanya!”. Suara Lastri yang begitu memelas, kembali memicu Ratno untuk berlari lebih kencang. Tetes air hujan yang pedih menusuk pori-pori kulit wajahnya tidak dihiraukan. Di depannya sudah terlihat nyala lampu petromak di beranda gubuk Mbah Mo. Ada sedikit kelegaan terpancar sayu di matanya. Tapi hati Ratno masih saja tak karuan.
Tangannya segera mengetuk pintu reyot yang ada di hadapannya.
“Mbah Mo! Mbah..tulung bojoku Mbah!”, nafasnya masih tersengal-sengal. Baru terasa dingin merasuki peredaran darahnya. Ratno menggigil. “Mbah!”, suaranya sedikit lantang.
Pintu bambu itu terbuka, nyala lampu remang-remang dari dalam gubuk menyorot wajah Ratno yang pucat. Sesosok tubuh renta menyembul dari balik pintu. “Ono opo Rat?” suara seraknya beradu dengan derasnya rintik hujan di luar. “Mbah, tulungi bojoku. Arep babaran!”, sengaja Ratno mengeraskan suaranya kembali agar Mbah Mo mendengar.
Tubuh renta itu tergopoh-gopoh mengambil buntelan kain batik yang ada di balik pintu. “Ayo Mbah, cepetan”. Mbah Mo mengangguk-angguk sambil mengikuti langkah Ratno yang semakin diburu.
“Mas…sakit mas!”, erangan Lastri mulai terdengar saat Ratno dan Mbah Mo menginjakkan kaki di halaman.
“Ya de’…sabar ya. Aku sudah datang sama Mbah Mo!”, teriak Ratno sambil mendorong pintu biliknya.
Wajah Lastri seputih kapas. Tubuhnya kaku menahan sakit dan kedua tangannya mengepal keras.
“Sabar ya Nduk!”, Mbah Mo menghampiri Lastri, duduk di pinggiran bale dan mengusap-usap perut Lastri yang membuncit dan tegang. Ratno segera ke dapur, menyiapkan baskom berisi air hangat dan air bersih, seperti yang diperintahkan Mbah Mo dalam perjalanan tadi.
Tubuh Ratno kembali gemetar. Bukan karena dingin yang menusuk pembuluh nadinya, namun karena mendengar erangan sakit Lastri yang belum berhenti selama satu jam. Ratno tak punya keberanian menyaksikan persalinan istrinya yang dibantu Mbah Mo, si dukun beranak. Tiang bambu penyangga rumah bambunya setiap lima menit sekali menjadi sasaran empuk pukulan-pukulan kecil Ratno saat mendengar Lastri berteriak.
“Anakku, cepatlah lahir. Bapak menunggumu…kasihan ibumu nak!”, hati kecil Ratno berucap berkali-kali.
Kriiieeett…
Tiba-tiba pintu biliknya terbuka, “Rat, anakmu sudah lahir!”, Mbah Mo memanggil Ratno pelan. Ratno masih gemetar. Menghampiri Lastri yang lemas kehabisan tenaga. Ratno mengusap peluh keletihan yang masih menetes di dahi Lastri.
“Sayang..”, Ratno tersenyum. Memandang kekasih hati yang terkulai di depannya. Lastri juga ikut tersenyum. Ada sorot kelegaan terpancar di kedua matanya.
“Mas, bukan buyung mas. Tapi upik. Anak kita perempuan mas, maafkan Lastri”. Tiba-tiba ada bulir air mata merembes di pojok kelopak matanya, dan jatuh perlahan. Pipinya yang mulai bersemu merah, basah karena air matanya. Ratno tetap tersenyum, meski ada sedikit kekecewaan tersembul di sudut hatinya.
“Ndak apa-apa de’. Yang penting anak kita sehat. Pasti dia cantik seperti ibunya”. Kata-kata itu cukup menghibur Lastri, tapi tidak menghilangkan kecewa di hati Ratno sendiri.
Malam ini, entah malam keberapa Ratno menghabiskan waktu dengan teman-temannya sesama tukang ojek di pangkalan dekat Pasar Kemis. Kampung kecilnya terasa sangat senyap saat senja mulai merayap. Hanya satu atau dua orang yang kemalaman pulang bekerja di kota saja yang menggunakan jasa tumpangan ojeknya.
Bukan karena Lastri menuntutnya pulang membawa uang lebih. Hingga ia rela begadang hingga jam dua pagi bersama Budi, Joko dan Eko di bawah temaram lampu lima watt di sebelah barat prapatan. Kartu, kacang dan sebotol bir ikut setia menemaninya.
“Opo sing kurang ya Rat?”, tiba-tiba suara Joko memecah keheningan.
“Kurang? Maksudmu apa Jok? Minumane kurang?”, Ratno balik bertanya.
Joko tersenyum, dan membisikkan sesuatu ke telinga Ratno. Ratno buru-buru menarik wajahnya dan berteriak perlahan.
“Gila kamu Jok!aku ndak sama denganmu!”
“Alah Rat! Jangan pura-pura. Aku tahu Lastri sudah tidak bergairah karo koe!”, senyum Joko menggodanya. Bahu Ratno didorong pelan.
Wajah Ratno memerah. Malu dan juga jengah. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki dipertaruhkan di tengah obrolan kawannya. Jika ia diam, maka sudah pasti semua tahu kalau belakangan ini Lastri sering menolak disentuh. Hanya karena lelah seharian mengurus Maya, putrinya.
“Sudahlah. Aku ndak mau macem-macem. Kasihan Lastri dan anakku!”. Joko dan yang lainnya terbahak. Merasa menang bisa memojokkan Ratno di tengah kegalauan malam-malam sepinya.
“Bodoh koe Rat! Kita kan ndak ngajak kamu kawin lagi. Cuma seneng-seneng saja di kampung sebelah. Kebetulan Pak Brayan nanggap dangdut orkes tunggal. Joget-joget opo salahe to Rat…Rat!”.
“Tapi selain joget di panggung, penyanyinya bisa joget yang lain lo Rat!” Eko dan Budi tertawa penuh sindiran.
Tak berapa lama, kepala Ratno mengangguk pelan. Ya, apa salahnya? Kata hatinya mendukung. Lagipula percuma ia pulang cepat. Yang ia pandangi hanya punggung molek istrinya yang terbaring di atas bale bambu reyot di biliknya yang pengap. Sambil menyusui dan mendekap Maya hingga esok pagi.
Sepanjang perjalanan ke kampung sebelah, hanya wajah Lastri yang terlihat di pelupuk matanya. Kerinduan memadu malam begitu membuncah di dadanya. Tapi, lagi-lagi suara halus Lastri ikut terngiang di telinganya, “Maaf mas. Aku lelah”. Ratno hanya menghela nafas kehampaan.
Dentuman musik dari speaker dan suara merdu penyanyi dangdut membuat Ratno sedikit melupakan kesedihannya. Tubuhnya lama-kelamaan menyesuaikan diri dengan hentakan-hentakan dan irama yang memicu hasrat bergoyang seluruh penonton.
Rumah Pak Brayan beruntung karena dekat dengan lapangan bola kampung. Sehingga pertunjukan yang digelar memeriahkan hajatannya mendapat respon meriah dari warga sekitarnya.
Lenggak lenggok dan sedikit goyangan erotis penyanyi di atas panggung membuat suasana semakin panas. Peluh membasahi kepala dan tubuh penonton yang mayoritas laki-laki itu. Termasuk Ratno. Meski ia tidak hafal syair lagu, tapi tubuhnya merasakan sensasi yang lain.
Joko menyenggol dan menyodorkan botol bir yang baru dibuka ke wajah ratno. Ratno tersenyum dan segera menenggaknya. Rasa panas membakar kerongkongannya yang kering. Keringatnya makin deras bercucuran. Tubuhnya limbung.

Lastri
Entah kenapa malam ini ia begitu kesepian. Padahal sudah beberapa minggu ini ia terbiasa ditinggal suaminya begadang di pangkalan ojek di prapatan Pasar Kemis. Ada sedikit rasa sesal menyeruak di hatinya. Lastri tahu, Ratno kecewa dengan penolakannya saat pulang bekerja.
Bukan karena lelah seharian mengurus Maya, Lastri menolak sentuhan Ratno. Tapi karena ia merasa sedih atas sikap Ratno yang seolah-olah menolak kehadiran Maya, si upik kesayangannya.
Lastri tahu juga. Sejak ia hamil, Ratno dan keluarga besarnya menginginkan anak yang dikandungnya adalah anak laki-laki. Si buyung yang sangat dinantikan Ratno.
Si buyung yang akan lahir dianggap bisa menjadi tumpuan harapannya mencari uang banyak di kota. Ratno lelah menjadi orang miskin, katanya. Lastri juga. Kemiskinan yang mendera sejak kecil paling tidak memupuk harapan suatu saat anak-anaknya mampu memberikan uang banyak dan gemerlap perhiasan.
Mungkin salahnya juga saat Mbak Supri menasihatinya untuk memeriksakan jenis kelamin jabang bayi di kandungannya saat berusia lima bulan. “Las, coba kamu periksakan kandungan kamu ke Puskesmas di kota. Biar tahu anakmu laki-laki atau perempuan, wadon opo lanang! Supaya bojomu ndak kecewa. Atau paling tidak dia lebih siap menerima jenis kelamin calon bayinya!”. Lastri hanya meggeleng perlahan.
“Matur nuwun Mbak. Ndak usah periksa-periksa segala. Aku ndak punya uang. Aku manut saja sama Mbah Mo, kata Mbah Mo anakku lanang Mbak. Lah wong perutku lancip. Dia kan sudah pengalaman.” Mbak Supri mengangkat bahunya, “Terserah koe Las”.
Jika mengingat hari itu, Lastri menyesal. Ya, andai saja ia memeriksakan kehamilannya melalui USG, pasti suaminya tidak mengalami kekecewaan mendalam.

Malam ini, malam ketiga puluh setelah Lastri behenti nifas. Dan selama itu pula ia masih enggan jika Ratno ingin menyentuhnya. Tapi malam ini ada keinginan yang begitu memburu Lastri untuk menyusul Ratno di pangkalan ojek sebelah sana.
Sambil menggendong Maya yang masih terlelap, Lastri merapikan jaritnya dan mengancingkan kebaya hijau pupus yang sudah usang dan robek di dekat pinggang sebelah kanannya.
Uang dua ribu perak ia lipat sekenanya dan ia selipkan ke kutang putihnya. Buru-buru ia menutup pintu dan melangkah di kegelapan malam. Ia rindu Ratno. Sangat merindukannya.
Matanya menyapu deretan motor yang terparkir. Hanya tinggal tiga motor di sana. Tapi Lastri tidak menemukan motor Ratno.Ah mungkin sedang mengantar penumpang, Lastri menghibur diri.
“Lastri, cari Ratno ya?” Joko menyapanya dari keremangan warung Mbak Minten.
“Ya Mas! Lagi narik ya?” Lastri sedikit berteriak supaya suaranya terdengar Joko.
“Ke kampung sebelah Las! Nganter Lusi, itu loh penyanyi orkes dangdut yang pualing seksi!” Joko tertawa. Sengaja membuat Lastri cemburu. Lastri merasa kesal. Hatinya dibakar api cemburu. Meski seharusnya ia tidak perlu begitu. Ah, namanya juga tukang ojek, mana bisa pilih-pilih penumpang. Hati Lastri menghibur.
“Yo wis mas, matur nuwun. Aku pulang saja!” Joko sedikit berlari menghampiri Lastri sambil menyeruput tetes kopinya yang terakhir.
“Eit..tunggu Las, biar aku antar kamu saja. Kasihan si Maya. Lagipula nanti kamu capek Las nek mlaku!” Joko menyeringai. Lastri sedikit takut, meski begitu ia tak punya pilihan lain. Kakinya lelah berjalan tadi. Padahal ia berharap bisa pulang kembali bersama Ratno.
“Lama ndak ya Mas?”
“Sopo? Ooh…Ratno? Yo sue to Las…wong nganternya ke kampung sebelah. Belum lagi kalau disuruh mampir, medang-medang dulu sama si Lusi.” Lagi-lagi Joko menyeringai. Lagi-lagi Lastri cemburu. Lastri tahu Lusi meski tak mengenalnya dengan baik. Menurut pembicaraan tetangganya, Lusi terkenal dengan goyangan mautnya di panggung, walaupun suaranya pas-pasan.
Dengan terpaksa ia mengatur duduknya di jok belakang motor Joko. Tangannya enggan menggamit pinggang Joko, ia lebih memilih memegang ujung belakang jok motor. Walaupun agak kesulitan karena Maya tertidur di gendongannya. Maya memberi isyarat sudah siap, dan motor Joko melaju di tengah kegelapan malam.
“Aku kok ndak disuruh mampir Las?” Joko memarkir motornya di depan tiang bambu sebelah kanan rumah gubuknya.
“Maaf mas, sudah malam. Ndak enak sama tetangga!” Lastri masuk ke dalam rumah. Ingin segera merebahkan Maya ke tempat tidur. Sekilas ia melihat Joko duduk di kursi rotan di teras depan.
Maya terlelap di atas bale. Lastri menyelimutinya perlahan dengan selendang yang tadi digunakan menggendongnya. Sebelum menutup pintu ia membetulkan ikatan rambutnya, dan mengambil uang dua ribu perak yang tadi ia selipkan di kutang putihnya. Ditaruhnya ke bawah bantal.
Tiba-tiba tangan kekar mencengkeram bahunya dengan paksa. Membalikkan badannya. Lastri berteriak. Namun tangan lain membekap mulutnya. Mata Lastri melotot. Di depannya, sudah ada Joko dengan mata yang merah, menyeringai tajam. Lastri menangis ketakutan. Seolah ia melihat di depannya ular besar yang bersiap menempelkan taringnya yang berbisa ke tubuhnya. Pipinya panas terkena tamparan Joko, sayup-sayup ia mendengar Joko membentaknya supaya diam. Kepalanya terantuk pinggir bale. Lastri limbung. Gelap.
Kepala Lastri pening. Matanya berat. Perlu waktu agak lama untuk membangkitkan kesadaran sepenuhnya. Sinar matahari meyusup lewat celah jendela rumahnya. Silau.
Lastri menangis. Kainnya sudah tak beraturan. Tersingkap dan terbuka. Maya menangis, lapar. Ingin menyusu. Susah payah Lastri mengumpulkan segenap kekuatannya untuk duduk dan memangku Maya. Tubuhnya sakit. Pahanya perih. Bahunya bergetar. Tangisnya adalah tangis kemarahan, kesedihan dan dendam. Laki-laki biadab! Lastri menegang. Tangannya mengepal.

Ratno
Siang itu Ratno pulang dengan baju lusuh. Di tangannya sudah terlipat uang seratus ribu rupiah hasil menarik semalaman. Meski penat, namun Ratno masih bisa tersenyum. Kerjanya semalam tak sia-sia. Mengantar Lusi ke kampung sebelah dan dapat bonus icip-icip penyanyi dangdut yang terkenal akan goyangan mautnya itu.
Merasa berdosa, sedikit. Kekecewan yang menumpuk membuat jiwa Ratno jauh dari rasa penyesalan. Ratno merasa seperti tak punya istri. Semenjak Lastri enggan melayani kebutuhannya lagi.
Direbahkan tubuhnya yang begitu letih ke bale. Matanya mencari Lastri dan Maya sekenanya. Ah mungkin mereka sedang ke pasar, atau di tempat mertuanya.
Menjelang sore, Ratno terbangun mendengar tangisan Maya. Matanya melirik ke arah samping kanannya. Lastri masih menyusui Maya sambil bersenandung kecil. Entah kenapa hari itu Ratno melihat Lastri begitu cantik. Atau cuma sekedar bawaan mimpi yang tadi sempat mampir.
Duduk dan meregangkan otot-otot lengannya, Ratno kembali memandang Lastri. Ada yang berbeda di matanya. Seperti ada sorot kemarahan. Tapi Ratno tak ambil pusing. Mungkin Lastri hanya lelah, seperti biasanya.
“Mandi mas? Sudah aku siapkan air hangat.” Lastri memandang Ratno.
“Ya de’. Sebentar lagi. Badanku pegel semua. Tolong pijit ya sebentar…”
Lastri meletakkan Maya di bale. Kemudian kembali menghampiri Ratno. Sudah lama rasanya Ratno tidak merasakan tangan Lastri yang lembut memijit punggung dan tangannya. “Makasih ya de “ Ratno tersenyum. Lastri membalasnya.

**

Malam ini, kembali Ratno berlari terengah-engah menuju rumah Mbah Mo. Hubungannya dengan Lastri setelah peristiwa pijatan itu kian membaik. Kini ia sedang menanti kelahiran anaknya yang kedua.
Si buyung yang ia nantikan. “Mbah! Ayo mbah cepetan!” Ratno masih saja gugup. Padahal ini sudah kali kedua, Ratno harus memanggil Mbah Mo. “Pasti anakku yang sekarang lanang yo Mbah!” suara Ratno begitu sumringah. Di belakangnya Mbah Mo hanya mengangguk-angguk. Ia juga sembilan puluh persen sudah yakin anak Ratno laki-laki, karena Lastri sudah menunjukkan hasil USG nya di puskesmas kota, beberapa waktu lalu.
Proses persalinan si buyung kini lebih cepat dibandingkan saat Maya lahir. Beda lima belas menit saja, Mbah Mo sudah keluar dan tersenyum.
“Rat, sana bojomu dijenguk!” Mbah Mo merapikan kain-kain dan baskom yang masih berantakan, dan membawanya ke dapur. Ratno tak sabar melihat dua orang yang paling dicintainya itu.
Lastri tersenyum. Peluh masih membasahi keningnya. Di sampingnya terbaring bayi mungil yang sudah rapi dibedong kain biru. Biru…berarti anakku laki-laki. Lastri sudah menyiapkan dua buah kain berwarna, satu biru dan satunya lagi merah jambu. “Kalau laki-laki nanti anak kita dibedong pakai kain biru mas, kalau perempuan ya pakai yang merah jambu ini. Kayak di rumah-rumah sakit itu lo mas!”. Ratno hanya mengagguk saat itu.
Dikecupnya kening Lastri. “Terima kasih ya sayang”. Lastri tersenyum kembali. “Ya mas…”.



Lastri
Meski bibirnya tersenyum bahagia. Hatinya bagai teriris dan tersayat sembilu. Entah apakah ia sanggup menyusui si buyung yang baru lahir ini. Karena jika memandang wajah mungilnya, ia akan kembali teringat sebuah peristiwa biadab malam itu.. wajah si buyungnya…mirip sekali dengan Joko.
**

Pamulang, June 2009

0 komentar:

Posting Komentar