Cerpen

PASUNG
by Mariana Ulfah

Aku tidak gila, tidak juga setengah gila, apalagi hampir gila seperti yang diteriakkan orang-orang kampung termasuk bapak, emak dan kakak lelakiku. Teriakanku seperti tercekat di tengah-tengah tenggorok. Merangsek ingin keluar.“Aku tidak gila! Aku bukan orang gila! Kalianlah yang gila!“.
Tangan-tangan itu tak peduli. Mata-mata itu tak ada yang peduli. Mata-mata itu menatapku tajam, jijik dan nanar. Menyeretku, membantingku ke dalam sudut gelap di bilik kecil di tengah-tengah rimbun pohon bambu seratus meter di belakang rumah bapak yang sudah dipersiapkan untukku. Bau tanah, bercampur lugut bambu yang beterbangan serta bau anyaman bambu memenuhi ruang gelap itu. Tak ada lampu, tak ada petromaks dan tak ada nyala lilin sekalipun. Hanya aku dan bau kecoak serta tikus-tikus yang mencericit.
Kakiku perih, sakit. Tapi tangan-tangan itu tak pernah ambil pusing. Mata-mata itu tak peduli dengan kepedihanku. Kakiku dipaksa masuk ke dalam bonggol kayu kamper dengan dua lubang berdiameter tak lebih dari lima belas senti. Menutup mata kakiku, melilitnya dengan rantai besi berkarat, berbunyi berderak-derak ketika dikuncikan.
Aku terpasung, dipasung, dikurung, dipenjara. Bukan cuma tubuhku, jiwaku juga ikut terpasung, hak-hakku sebagai seorang wanita ikut terpasung. Tak berdaya. Lemah. Dalam kegelapan dan kengerian yang menghantuiku sepanjang malam. Kecoak, cepet, kelabang, cacing dan tikus sudah mulai terbiasa dengan kehadiranku, bahkan mereka mulai menganggapku sahabat. Mana ada manusia seperti aku yang diperlakukan bagai binatang, bagai mereka. Aku manusia binatang. Binatang hina yang lebih hina dari anjing kudisan.
Lelaki itu tak lebih hina dari diriku. Lelaki yang membuatku terhina. Lelaki dengan peluh di tubuhnya. Melalui merah mata buasnya ia menelanjangiku, mencabik-cabik tubuhku, merobek keperawananku sampai berdarah-darah. Darah merah lebih merah dari matanya. Darah sakit hati dan dendam yang membuncah. Lelaki bangsat itu kakakku.
Sejak itu, lima tahun yang lalu, aku hanya hidup dalam diam, tidur dalam diam, makan dalam diam, dan bernapas dalam diam. Anganku menjadi seorang perempuan suci pada malam pertama pengantin hilang sudah, pupus, lebur bersama air mata kewanitaanku.
Aku tak mengenal bergantinya waktu. Berapa lama, berapa jam, berapa hari, berapa tahun. Yang kulihat adalah ketika pagi beranjak siang, siang berubah gelap, panas berganti hujan. Aku melihat waktu melalui celah kecil dalam bilikku. Celah yang tak layak disebut jendela. Celah yang tak berdaun dan tak berjeruji, menghembuskan bau pengap ke dunia luar sedikit demi sedikit.
Aku tak pernah kelaparan apalagi kehausan. Setiap kali cacing-cacing dalam perutku berteriak gaduh, menyeruduk selaput-selaput dinding perut, atau ketika kerongkonganku perih karena dahaga, aku tinggal menarik tambang yang tergantung di dekatku. Menggoyangnya dua kali, tiga kali atau empat kali. Klontang...klontang...klontang. Dan suara kaleng-kaleng bekas yang terikat di pangkalnya akan mengantar pesan “aku lapar“,“aku haus“,“aku berak“, atau“aku kencing“. Detik berikutnya datanglah Emak, adik perempuanku Surti, atau Bulikku Mar. Melongok dari pintu bambu yang reyot, memberiku makan, minum sampai membersihkan aku dari kotoran-kotoran najis yang melekat pada baju dalamku, sarungku.
Tak ada yang mau berbicara denganku. Itulah skenario yang sudah diatur bapak untuk mereka. Tak ada yang boleh berbicara denganku. Hukuman untukku yang tak pernah berakhir sejak mereka menjebloskanku ke dalam sudut terkutuk ini.
Cuma perempuan yang boleh menengokku. Itu pun perempuan yang sudah tidak perawan lagi, janda juga boleh. Tapi tidak untuk perempuan yang masih suci, masih perawan, belum terjamah. Buat perempuan calon manten , pantangan melintas dekat bilikku apalagi menjengukku. Nanti ketularan busuk, kena tulah, kualat, kata orang-orang. Aku perempuan terkutuk, perempuan pendosa, perempuan haram, kata mereka. Mereka semua penduduk kampung, termasuk bapakku.
Saat sepi menderaku. Aku berkhayal. Khayalanku terbang ke sebuah rumah kecil dalam negeri antah berantah, berhalaman rumput hijau yang luas. Aku dan emak duduk di bale-bale bambu menyambut mentari yang baru terbangun oleh kokok ayam jantan di kandang belakang rumah itu. Emak menyisir rambutku hati-hati. Rambut yang mengeluarkan aroma bunga, panjang berkilauan bak mutiara. Emak menyisir perlahan sambil mendendangkan tembang-tembang jawa kesukaan emak dan eyang putri.
Suara Emak sangat merdu. Semerdu kicau burung. Semerdu semilir angin yang menerobos batang-batang bambu, semerdu suara jangkrik di malam hari.
Aku ingin selalu ada di pelukan ibu dari pagi sampai matahari tertidur kembali. Aku ingin mendengar merdu suara emak yang menghantarkanku ke peraduan. Hangat. Damai.
Satu malam aku pun pernah bermimpi. Ada seorang peri seperti dalam dongeng Cinderella si upik abu, menyihir lilitan besi yang mengunciku, membebaskanku dan membawaku terbang ke khayangan. Tempat di mana para peri, bidadari, dewa dan dewi bercengkrama.
Khayalan cuma khayalan. Mimpi hanya mimpi. Yang memenuhi ruang gelap, dingin, berembun, lembab tempatku meringkuk kini.
Siang hari. Entah hari apa, jam berapa, bulan apa, tahun berapa. Suara berisik, berdengung. Laki-laki dan perempuan, berbicara sesekali berdebat dari balik bilik penjaraku. Suara Emak, Bapak, dan Surti. Serta dua suara yang tidak aku kenal. Satu laki-laki dan satu perempuan.
Tuhan sepertinya melihat penderitaanku. Pasti mereka datang untuk melepas pasungku. Pintu bambu reyot itu sedikit demi sedikit bergeser. Mereka semua kembali berbicara, mendengung bagai lebah yang memenuhi labirin sarangnya. Aku tidak mengerti yang mereka katakan. Apakah kini aku bukan lagi manusia yang berbicara bahasa manusia? Aku terlalu lama hidup dalam diam, dalam skenario yang dibuat bapak untukku, untuk orang-orang sekelilingku. Apakah mereka berbicara dengan bahasa binatang yang biasa aku dengar? Manusia berbicara binatang? Aku linglung.
Lamat-lamat aku berusaha mencerna kata-kata mereka. Laki-laki dan perempuan yang tidak aku kenal. Mereka berpakaian perlente sejenis seragam dengan logo dan tulisan yayasan anu.
“Mbak Lasmi tenang saja. Kami dari yayasan perlindungan hak-hak wanita akan membebaskan Mbak sesegera mungkin“. Mereka tersenyum. Hambar.
Mereka berpaling menatap Bapak dan Emakku. Kata-kata mereka kembali tak kumengerti. “Bapak dan Ibu seharusnya tahu kalau tindakan ini merupakan tindak kejahatan dan kekerasan“. Bapakku balas mencela dengan nada tinggi, ditimpali acungan telunjuk Emak ke wajah mereka.
Baru sekarang kudengar lagi suara Bapak dan Emak. Tapi bukan suara merdu yang melantunkan tembang-tembang jawa, melainkan suara makian kemarahan. “Jangan ikut campur!”.
Pintu bambu reyot itu kembali tertutup. Kemudian suara-suara mereka hilang bersamaan suara langkah kaki yang menjauh.
Aku kembali beringsut dalam diam, dalam keremangan senja yang mulai menggelapkan sudut ruang penjaraku. Ada perasaan aneh yang menjalar. Apakah ini yang disebut harapan? Harapan ingin bebas. Harapan ingin kembali menikmati indahnya duduk di meja makan bersama Bapak dan Emak, mandi di kali bersama teman-teman wanita di desaku , bersenda gurau.
Entah berapa gelap dan terang yang telah berganti sejak kedatangan orang-orang dari yayasan anu itu. Harapan itu kian memudar, bermuara hanya pada sekedar artikel kecil di surat kabar, selebaran, pamflet dan poster-poster bertajuk ’Stop Kekerasan terhadap Wanita’. Aku lelah. Aku hanya butuh tangan-tangan yang mau melepaskan belenggu kakiku. Dan membersihkan luka perih di pergelangan kakiku.
Aku berteriak, tapi tetap diam. Mungkin hanya diriku yang mampu memberi kebebasan, hanya tanganku yang mampu membawaku ke negeri kebebasan.
Dengan susah payah jemariku yang kurus meraih onggokan pecahan beling gelas bekas kulempar kemarin. Menariknya perlahan. Bayangan mata buas lelaki itu kembali hadir. Tubuhku menegang, merinding. Bayangan mata, bayangan darah menyesakkan syaraf-syaraf otakku. Pecahan beling itu telah menancap kaku di nadiku. Menggores dan mengucurkan kembali darahku. Darah yang menggenangi tubuh dan kakiku yang masih terpasung. Aku berputar dalam kubangan darah. Darah kebebasanku.

Jakarta, 2006

Cerpen

SI BUYUNG
By: Mariana Ulfah



Ratno
Ratno berlari secepat mungkin menuju gubuk Mbah Mo, ia tak menghiraukan hujan deras yang mengguyur tubuh kerempengnya. Ia mungkin juga tak peduli jika kilat menyambar tanah tempat kaki kurusnya berlari. Yang ia pedulikan saat ini, malam ini, pukul 12 lewat, hanyalah Lastri istrinya.
Sambil berlari, berkelebat bayangan wajah kesakitan istrinya, yang sedang mengerang-erang kesakitan di bale bambu, di biliknya yang pengap. Mengejan menahan nafas karena ketuban di perutnya sudah pecah.
“Mas..tolong panggilkan Mbah Mo, mas. Si buyung sudah mau keluar. Cepat mas, sakit sekali rasanya!”. Suara Lastri yang begitu memelas, kembali memicu Ratno untuk berlari lebih kencang. Tetes air hujan yang pedih menusuk pori-pori kulit wajahnya tidak dihiraukan. Di depannya sudah terlihat nyala lampu petromak di beranda gubuk Mbah Mo. Ada sedikit kelegaan terpancar sayu di matanya. Tapi hati Ratno masih saja tak karuan.
Tangannya segera mengetuk pintu reyot yang ada di hadapannya.
“Mbah Mo! Mbah..tulung bojoku Mbah!”, nafasnya masih tersengal-sengal. Baru terasa dingin merasuki peredaran darahnya. Ratno menggigil. “Mbah!”, suaranya sedikit lantang.
Pintu bambu itu terbuka, nyala lampu remang-remang dari dalam gubuk menyorot wajah Ratno yang pucat. Sesosok tubuh renta menyembul dari balik pintu. “Ono opo Rat?” suara seraknya beradu dengan derasnya rintik hujan di luar. “Mbah, tulungi bojoku. Arep babaran!”, sengaja Ratno mengeraskan suaranya kembali agar Mbah Mo mendengar.
Tubuh renta itu tergopoh-gopoh mengambil buntelan kain batik yang ada di balik pintu. “Ayo Mbah, cepetan”. Mbah Mo mengangguk-angguk sambil mengikuti langkah Ratno yang semakin diburu.
“Mas…sakit mas!”, erangan Lastri mulai terdengar saat Ratno dan Mbah Mo menginjakkan kaki di halaman.
“Ya de’…sabar ya. Aku sudah datang sama Mbah Mo!”, teriak Ratno sambil mendorong pintu biliknya.
Wajah Lastri seputih kapas. Tubuhnya kaku menahan sakit dan kedua tangannya mengepal keras.
“Sabar ya Nduk!”, Mbah Mo menghampiri Lastri, duduk di pinggiran bale dan mengusap-usap perut Lastri yang membuncit dan tegang. Ratno segera ke dapur, menyiapkan baskom berisi air hangat dan air bersih, seperti yang diperintahkan Mbah Mo dalam perjalanan tadi.
Tubuh Ratno kembali gemetar. Bukan karena dingin yang menusuk pembuluh nadinya, namun karena mendengar erangan sakit Lastri yang belum berhenti selama satu jam. Ratno tak punya keberanian menyaksikan persalinan istrinya yang dibantu Mbah Mo, si dukun beranak. Tiang bambu penyangga rumah bambunya setiap lima menit sekali menjadi sasaran empuk pukulan-pukulan kecil Ratno saat mendengar Lastri berteriak.
“Anakku, cepatlah lahir. Bapak menunggumu…kasihan ibumu nak!”, hati kecil Ratno berucap berkali-kali.
Kriiieeett…
Tiba-tiba pintu biliknya terbuka, “Rat, anakmu sudah lahir!”, Mbah Mo memanggil Ratno pelan. Ratno masih gemetar. Menghampiri Lastri yang lemas kehabisan tenaga. Ratno mengusap peluh keletihan yang masih menetes di dahi Lastri.
“Sayang..”, Ratno tersenyum. Memandang kekasih hati yang terkulai di depannya. Lastri juga ikut tersenyum. Ada sorot kelegaan terpancar di kedua matanya.
“Mas, bukan buyung mas. Tapi upik. Anak kita perempuan mas, maafkan Lastri”. Tiba-tiba ada bulir air mata merembes di pojok kelopak matanya, dan jatuh perlahan. Pipinya yang mulai bersemu merah, basah karena air matanya. Ratno tetap tersenyum, meski ada sedikit kekecewaan tersembul di sudut hatinya.
“Ndak apa-apa de’. Yang penting anak kita sehat. Pasti dia cantik seperti ibunya”. Kata-kata itu cukup menghibur Lastri, tapi tidak menghilangkan kecewa di hati Ratno sendiri.
Malam ini, entah malam keberapa Ratno menghabiskan waktu dengan teman-temannya sesama tukang ojek di pangkalan dekat Pasar Kemis. Kampung kecilnya terasa sangat senyap saat senja mulai merayap. Hanya satu atau dua orang yang kemalaman pulang bekerja di kota saja yang menggunakan jasa tumpangan ojeknya.
Bukan karena Lastri menuntutnya pulang membawa uang lebih. Hingga ia rela begadang hingga jam dua pagi bersama Budi, Joko dan Eko di bawah temaram lampu lima watt di sebelah barat prapatan. Kartu, kacang dan sebotol bir ikut setia menemaninya.
“Opo sing kurang ya Rat?”, tiba-tiba suara Joko memecah keheningan.
“Kurang? Maksudmu apa Jok? Minumane kurang?”, Ratno balik bertanya.
Joko tersenyum, dan membisikkan sesuatu ke telinga Ratno. Ratno buru-buru menarik wajahnya dan berteriak perlahan.
“Gila kamu Jok!aku ndak sama denganmu!”
“Alah Rat! Jangan pura-pura. Aku tahu Lastri sudah tidak bergairah karo koe!”, senyum Joko menggodanya. Bahu Ratno didorong pelan.
Wajah Ratno memerah. Malu dan juga jengah. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki dipertaruhkan di tengah obrolan kawannya. Jika ia diam, maka sudah pasti semua tahu kalau belakangan ini Lastri sering menolak disentuh. Hanya karena lelah seharian mengurus Maya, putrinya.
“Sudahlah. Aku ndak mau macem-macem. Kasihan Lastri dan anakku!”. Joko dan yang lainnya terbahak. Merasa menang bisa memojokkan Ratno di tengah kegalauan malam-malam sepinya.
“Bodoh koe Rat! Kita kan ndak ngajak kamu kawin lagi. Cuma seneng-seneng saja di kampung sebelah. Kebetulan Pak Brayan nanggap dangdut orkes tunggal. Joget-joget opo salahe to Rat…Rat!”.
“Tapi selain joget di panggung, penyanyinya bisa joget yang lain lo Rat!” Eko dan Budi tertawa penuh sindiran.
Tak berapa lama, kepala Ratno mengangguk pelan. Ya, apa salahnya? Kata hatinya mendukung. Lagipula percuma ia pulang cepat. Yang ia pandangi hanya punggung molek istrinya yang terbaring di atas bale bambu reyot di biliknya yang pengap. Sambil menyusui dan mendekap Maya hingga esok pagi.
Sepanjang perjalanan ke kampung sebelah, hanya wajah Lastri yang terlihat di pelupuk matanya. Kerinduan memadu malam begitu membuncah di dadanya. Tapi, lagi-lagi suara halus Lastri ikut terngiang di telinganya, “Maaf mas. Aku lelah”. Ratno hanya menghela nafas kehampaan.
Dentuman musik dari speaker dan suara merdu penyanyi dangdut membuat Ratno sedikit melupakan kesedihannya. Tubuhnya lama-kelamaan menyesuaikan diri dengan hentakan-hentakan dan irama yang memicu hasrat bergoyang seluruh penonton.
Rumah Pak Brayan beruntung karena dekat dengan lapangan bola kampung. Sehingga pertunjukan yang digelar memeriahkan hajatannya mendapat respon meriah dari warga sekitarnya.
Lenggak lenggok dan sedikit goyangan erotis penyanyi di atas panggung membuat suasana semakin panas. Peluh membasahi kepala dan tubuh penonton yang mayoritas laki-laki itu. Termasuk Ratno. Meski ia tidak hafal syair lagu, tapi tubuhnya merasakan sensasi yang lain.
Joko menyenggol dan menyodorkan botol bir yang baru dibuka ke wajah ratno. Ratno tersenyum dan segera menenggaknya. Rasa panas membakar kerongkongannya yang kering. Keringatnya makin deras bercucuran. Tubuhnya limbung.

Lastri
Entah kenapa malam ini ia begitu kesepian. Padahal sudah beberapa minggu ini ia terbiasa ditinggal suaminya begadang di pangkalan ojek di prapatan Pasar Kemis. Ada sedikit rasa sesal menyeruak di hatinya. Lastri tahu, Ratno kecewa dengan penolakannya saat pulang bekerja.
Bukan karena lelah seharian mengurus Maya, Lastri menolak sentuhan Ratno. Tapi karena ia merasa sedih atas sikap Ratno yang seolah-olah menolak kehadiran Maya, si upik kesayangannya.
Lastri tahu juga. Sejak ia hamil, Ratno dan keluarga besarnya menginginkan anak yang dikandungnya adalah anak laki-laki. Si buyung yang sangat dinantikan Ratno.
Si buyung yang akan lahir dianggap bisa menjadi tumpuan harapannya mencari uang banyak di kota. Ratno lelah menjadi orang miskin, katanya. Lastri juga. Kemiskinan yang mendera sejak kecil paling tidak memupuk harapan suatu saat anak-anaknya mampu memberikan uang banyak dan gemerlap perhiasan.
Mungkin salahnya juga saat Mbak Supri menasihatinya untuk memeriksakan jenis kelamin jabang bayi di kandungannya saat berusia lima bulan. “Las, coba kamu periksakan kandungan kamu ke Puskesmas di kota. Biar tahu anakmu laki-laki atau perempuan, wadon opo lanang! Supaya bojomu ndak kecewa. Atau paling tidak dia lebih siap menerima jenis kelamin calon bayinya!”. Lastri hanya meggeleng perlahan.
“Matur nuwun Mbak. Ndak usah periksa-periksa segala. Aku ndak punya uang. Aku manut saja sama Mbah Mo, kata Mbah Mo anakku lanang Mbak. Lah wong perutku lancip. Dia kan sudah pengalaman.” Mbak Supri mengangkat bahunya, “Terserah koe Las”.
Jika mengingat hari itu, Lastri menyesal. Ya, andai saja ia memeriksakan kehamilannya melalui USG, pasti suaminya tidak mengalami kekecewaan mendalam.

Malam ini, malam ketiga puluh setelah Lastri behenti nifas. Dan selama itu pula ia masih enggan jika Ratno ingin menyentuhnya. Tapi malam ini ada keinginan yang begitu memburu Lastri untuk menyusul Ratno di pangkalan ojek sebelah sana.
Sambil menggendong Maya yang masih terlelap, Lastri merapikan jaritnya dan mengancingkan kebaya hijau pupus yang sudah usang dan robek di dekat pinggang sebelah kanannya.
Uang dua ribu perak ia lipat sekenanya dan ia selipkan ke kutang putihnya. Buru-buru ia menutup pintu dan melangkah di kegelapan malam. Ia rindu Ratno. Sangat merindukannya.
Matanya menyapu deretan motor yang terparkir. Hanya tinggal tiga motor di sana. Tapi Lastri tidak menemukan motor Ratno.Ah mungkin sedang mengantar penumpang, Lastri menghibur diri.
“Lastri, cari Ratno ya?” Joko menyapanya dari keremangan warung Mbak Minten.
“Ya Mas! Lagi narik ya?” Lastri sedikit berteriak supaya suaranya terdengar Joko.
“Ke kampung sebelah Las! Nganter Lusi, itu loh penyanyi orkes dangdut yang pualing seksi!” Joko tertawa. Sengaja membuat Lastri cemburu. Lastri merasa kesal. Hatinya dibakar api cemburu. Meski seharusnya ia tidak perlu begitu. Ah, namanya juga tukang ojek, mana bisa pilih-pilih penumpang. Hati Lastri menghibur.
“Yo wis mas, matur nuwun. Aku pulang saja!” Joko sedikit berlari menghampiri Lastri sambil menyeruput tetes kopinya yang terakhir.
“Eit..tunggu Las, biar aku antar kamu saja. Kasihan si Maya. Lagipula nanti kamu capek Las nek mlaku!” Joko menyeringai. Lastri sedikit takut, meski begitu ia tak punya pilihan lain. Kakinya lelah berjalan tadi. Padahal ia berharap bisa pulang kembali bersama Ratno.
“Lama ndak ya Mas?”
“Sopo? Ooh…Ratno? Yo sue to Las…wong nganternya ke kampung sebelah. Belum lagi kalau disuruh mampir, medang-medang dulu sama si Lusi.” Lagi-lagi Joko menyeringai. Lagi-lagi Lastri cemburu. Lastri tahu Lusi meski tak mengenalnya dengan baik. Menurut pembicaraan tetangganya, Lusi terkenal dengan goyangan mautnya di panggung, walaupun suaranya pas-pasan.
Dengan terpaksa ia mengatur duduknya di jok belakang motor Joko. Tangannya enggan menggamit pinggang Joko, ia lebih memilih memegang ujung belakang jok motor. Walaupun agak kesulitan karena Maya tertidur di gendongannya. Maya memberi isyarat sudah siap, dan motor Joko melaju di tengah kegelapan malam.
“Aku kok ndak disuruh mampir Las?” Joko memarkir motornya di depan tiang bambu sebelah kanan rumah gubuknya.
“Maaf mas, sudah malam. Ndak enak sama tetangga!” Lastri masuk ke dalam rumah. Ingin segera merebahkan Maya ke tempat tidur. Sekilas ia melihat Joko duduk di kursi rotan di teras depan.
Maya terlelap di atas bale. Lastri menyelimutinya perlahan dengan selendang yang tadi digunakan menggendongnya. Sebelum menutup pintu ia membetulkan ikatan rambutnya, dan mengambil uang dua ribu perak yang tadi ia selipkan di kutang putihnya. Ditaruhnya ke bawah bantal.
Tiba-tiba tangan kekar mencengkeram bahunya dengan paksa. Membalikkan badannya. Lastri berteriak. Namun tangan lain membekap mulutnya. Mata Lastri melotot. Di depannya, sudah ada Joko dengan mata yang merah, menyeringai tajam. Lastri menangis ketakutan. Seolah ia melihat di depannya ular besar yang bersiap menempelkan taringnya yang berbisa ke tubuhnya. Pipinya panas terkena tamparan Joko, sayup-sayup ia mendengar Joko membentaknya supaya diam. Kepalanya terantuk pinggir bale. Lastri limbung. Gelap.
Kepala Lastri pening. Matanya berat. Perlu waktu agak lama untuk membangkitkan kesadaran sepenuhnya. Sinar matahari meyusup lewat celah jendela rumahnya. Silau.
Lastri menangis. Kainnya sudah tak beraturan. Tersingkap dan terbuka. Maya menangis, lapar. Ingin menyusu. Susah payah Lastri mengumpulkan segenap kekuatannya untuk duduk dan memangku Maya. Tubuhnya sakit. Pahanya perih. Bahunya bergetar. Tangisnya adalah tangis kemarahan, kesedihan dan dendam. Laki-laki biadab! Lastri menegang. Tangannya mengepal.

Ratno
Siang itu Ratno pulang dengan baju lusuh. Di tangannya sudah terlipat uang seratus ribu rupiah hasil menarik semalaman. Meski penat, namun Ratno masih bisa tersenyum. Kerjanya semalam tak sia-sia. Mengantar Lusi ke kampung sebelah dan dapat bonus icip-icip penyanyi dangdut yang terkenal akan goyangan mautnya itu.
Merasa berdosa, sedikit. Kekecewan yang menumpuk membuat jiwa Ratno jauh dari rasa penyesalan. Ratno merasa seperti tak punya istri. Semenjak Lastri enggan melayani kebutuhannya lagi.
Direbahkan tubuhnya yang begitu letih ke bale. Matanya mencari Lastri dan Maya sekenanya. Ah mungkin mereka sedang ke pasar, atau di tempat mertuanya.
Menjelang sore, Ratno terbangun mendengar tangisan Maya. Matanya melirik ke arah samping kanannya. Lastri masih menyusui Maya sambil bersenandung kecil. Entah kenapa hari itu Ratno melihat Lastri begitu cantik. Atau cuma sekedar bawaan mimpi yang tadi sempat mampir.
Duduk dan meregangkan otot-otot lengannya, Ratno kembali memandang Lastri. Ada yang berbeda di matanya. Seperti ada sorot kemarahan. Tapi Ratno tak ambil pusing. Mungkin Lastri hanya lelah, seperti biasanya.
“Mandi mas? Sudah aku siapkan air hangat.” Lastri memandang Ratno.
“Ya de’. Sebentar lagi. Badanku pegel semua. Tolong pijit ya sebentar…”
Lastri meletakkan Maya di bale. Kemudian kembali menghampiri Ratno. Sudah lama rasanya Ratno tidak merasakan tangan Lastri yang lembut memijit punggung dan tangannya. “Makasih ya de “ Ratno tersenyum. Lastri membalasnya.

**

Malam ini, kembali Ratno berlari terengah-engah menuju rumah Mbah Mo. Hubungannya dengan Lastri setelah peristiwa pijatan itu kian membaik. Kini ia sedang menanti kelahiran anaknya yang kedua.
Si buyung yang ia nantikan. “Mbah! Ayo mbah cepetan!” Ratno masih saja gugup. Padahal ini sudah kali kedua, Ratno harus memanggil Mbah Mo. “Pasti anakku yang sekarang lanang yo Mbah!” suara Ratno begitu sumringah. Di belakangnya Mbah Mo hanya mengangguk-angguk. Ia juga sembilan puluh persen sudah yakin anak Ratno laki-laki, karena Lastri sudah menunjukkan hasil USG nya di puskesmas kota, beberapa waktu lalu.
Proses persalinan si buyung kini lebih cepat dibandingkan saat Maya lahir. Beda lima belas menit saja, Mbah Mo sudah keluar dan tersenyum.
“Rat, sana bojomu dijenguk!” Mbah Mo merapikan kain-kain dan baskom yang masih berantakan, dan membawanya ke dapur. Ratno tak sabar melihat dua orang yang paling dicintainya itu.
Lastri tersenyum. Peluh masih membasahi keningnya. Di sampingnya terbaring bayi mungil yang sudah rapi dibedong kain biru. Biru…berarti anakku laki-laki. Lastri sudah menyiapkan dua buah kain berwarna, satu biru dan satunya lagi merah jambu. “Kalau laki-laki nanti anak kita dibedong pakai kain biru mas, kalau perempuan ya pakai yang merah jambu ini. Kayak di rumah-rumah sakit itu lo mas!”. Ratno hanya mengagguk saat itu.
Dikecupnya kening Lastri. “Terima kasih ya sayang”. Lastri tersenyum kembali. “Ya mas…”.



Lastri
Meski bibirnya tersenyum bahagia. Hatinya bagai teriris dan tersayat sembilu. Entah apakah ia sanggup menyusui si buyung yang baru lahir ini. Karena jika memandang wajah mungilnya, ia akan kembali teringat sebuah peristiwa biadab malam itu.. wajah si buyungnya…mirip sekali dengan Joko.
**

Pamulang, June 2009

Resensi Novel

RESENSI NOVEL

Oleh: Mariana Ulfah

Judul : Bodyguard Bawel
Pengarang : Triani Retno A
Halaman : 181 hal
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama


Novel remaja berjudul Bodyguard Bawel yang ditulis oleh Triani Retno A atau yang sering dipanggil Teera ini mengisahkan tentang Lea, seorang remaja kelas dua SMA Pelita Ilmu. Lea, lengkapnya Alea Nandhika adalah cewek yang bawel. Dia sangat menyukai karate dan memiliki sahabat bernama Yugi yang juga hobi karate.


Membaca kebawelan-kebawelan Lea dari awal cerita sampai akhir cerita, membawa memori kita terbang ke awal tahun 90-an, membayangkan tokoh Olga (yang selalu bersepatu roda, yang tomboy dan bawel karena dia juga penyiar radio) dan Lulu (adiknya Lupus yang bawelnya juga minta ampun). Lea sosok remaja perempuan yang bawel, tomboy, tapi ia juga baik hati. Dia tidak pernah segan menolong temannya yang kesulitan dan bahkan ia rela menolong orang lain yang kecopetan, dengan mengejar copetnya seorang diri.


"Bodyguard Bawel" menceritakan suka duka remaja terutama tokoh Lea serta sahabat-sahabatnya. Dikisahkan pada awal cerita bahwa sahabat sekelasnya Yola kebingungan mencari Adit karena pelaksanaan lomba melukis kian dekat. Adit ternyata suka menghilang dan menyendiri di rumah-rumah sakit hanya untuk merenung dan mencari pencerahan sejak Ibunya meninggal. Lea dengan bersemangat membantu Yola untuk mencari Adit, tentu saja dengan bantuan Yugi. Meski tidak begitu mengenal Adit, Lea kemudian bersimpati melihat karya-karya lukisan Adit yang berubah sejak ditinggal Ibunya, lukisan Adit kian muram dan sedih.


Di bagian lain, dikisahkan Lea berkenalan dan jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap Gilang. Pertemuan yang terjadi kebetulan, gara-gara Lea menangkap copet yang mencopet Mamanya Gilang itu, membuat Lea merasa Gilang adalah cinta sejatinya yang ia cari selama ini.


Lea rela mengikuti tips-tips dari buku 'Kiat Mendapatkan Pacar Idaman' agar Gilang mau menerimanya sebagai pacar. Lea rela merubah selera RBT nya dari Kucing Garong dan SMS yang tergolong musik dangdut itu menjadi lagu-lagu Gita Gutawa dan Andra and The Backbone. Bahkan ia juga mati-matian berusaha menyukai musik klasik kegemaran Gilang yang disetel di mobilnya saat mereka pergi berdua.


Meski begitu, ternyata perasaan Gilang tidak seperti yang diharapkan Lea. Gilang justru tidak ingin Lea berubah hanya karena dirinya. Meskipun sedih tidak berhasil mendapatkan pangeran impiannya, Lea tetap ceria dan selalu ada Yugi yang juga setia mendampinginya sebagai sahabat.


Kesetiaan persahabatan Yugi dibuktikan dengan kegigihannya membantu Lea mengungkap pelaku teror SMS yang menyebarkan fitnah tentang Lea. Meski Yugi sudah memilih Kenni sebagai pacarnya, tapi diam-diam dia menyukai Lea.


Konflik dan tema yang diusung novel ini cukup ringan namun dialog-dialognya tidak membosankan. Mengalir dengan lancar, dan lucu. Mampu membuat kita tersenyum dan tertawa terbahak sendiri. Alurnya pun teratur, tidak terlalu cepat dan tidak juga lambat.


Satu hal yang sangat digarisbawahi dalam novel ini, adalah sebuah nilai persahabatan yang tidak mengenal batas usia dan jenis kelamin.


Persahabatan dalam suka dan duka. Persahabatan yang saling melengkapi. Kata-kata 'Thats what friends are for' sangat pantas menggambarkan persahabatan antara Lea dan Yugi serta sahabat-sahabatnya yang lain.


Bahkan jika suatu waktu timbul cinta. Maka cinta untuk sahabatlah yang pasti akan diusung Lea dan Yugi.